“Tujuan dari puasa bukanlah sekedar mengekang tubuh dalam rangka menahan haus dan lapar serta kesulitan, akan tetapi tujuannya adalah menundukkan jiwa dengan meninggalkan sesuatu yang dicintai demi meraih keridhoan Dzat yang dicintai…”
Secara Bahasa
ash-Shaum berarti al-imsak/menahan diri (Fath al-Bari oleh Ibnu Hajar, 4/121, al-Minhaj oleh an-Nawawi, 4/412). ash-Shaum secara bahasa juga bisa berarti al-imsak ‘anith-tha’am (menahan diri dari makan) (ash-Shihah fi al-Lughah oleh al-Jauhari, bagian huruf Shad).
Shaum bisa juga diartikan berdiri tanpa ada pekerjaan (Mukhtar ash-Shihah oleh Zainuddin ar-Razi, bagian huruf Shad). Shaum juga diartikan menahan diri tidak makan, tidak minum, tidak berhubungan suami-isteri, atau tidak berbicara (Lisan al-‘Arab oleh Ibnu Manzhur, pasal Shaum).
Secara Istilah
ash-Shaum secara istilah berarti sebuah bentuk penahanan diri yang khusus selama rentang waktu tertentu terhadap hal-hal tertentu dengan syarat-syarat yang khusus. Ibnu Hajar menyatakan bahwa pengertian shaum dalam syari’at adalah : seorang mukallaf menahan dirinya -dengan disertai niat- untuk tidak makan, tidak minum, tidak mengeluarkan mani dengan sengaja, dan tidak muntah secara sengaja sejak fajar hingga maghrib tiba (Fath al-Bari, 4/121). Definisi serupa juga disampaikan oleh an-Nawawi dalam syarah Shahih Muslimnya (lihat al-Minhaj, 4/412).
Sedangkan yang dimaksud dengan shaum Ramadhan atau puasa Ramadhan adalah sebuah ritual/ta’abbud yang ditujukan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan meninggalkan makan, minum, dan jima’ sejak terbitnya fajar hingga tenggelamnya matahari -di bulan Ramadhan- (lihat Syarh Riyadhush Shalihin oleh Ibnu Utsaimin, 3/380).
Puasa Ramadhan diwajibkan mulai tahun ke-2 hijriyah, sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan puasa selama 9 tahun. Diwajibkannya puasa melalui 2 tahapan :
1. Tahap pertama : diberikan pilihan antara puasa dengan memberikan makan kepada orang miskin, namun dinyatakan bahwa puasa itu yang lebih baik.
2. Tahap kedua : diwajibkannya berpuasa tanpa ada pilihan lain (lihat Majalis Syahri Ramadhan oleh Ibnu Utsaimin, hal. 15).
Puasa Yang Hakiki
Abu Hurairah radhiyallahu’anhu mengatakan : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan zuur (dusta) dan mengerjakan kedustaan maka Allah tidak memerlukan dia meninggalkan makan dan minumnya.” (HR. Bukhari [1903, 6057]).
al-Hafizh mengatakan, “Yang dimaksud dengan ucapan zuur adalah kedustaan.” (Fath al-Bari, 4/138).
Ibnu Baththal mengatakan, “Ini bukan berarti Allah memerintahkan dirinya untuk meninggalkan puasanya. Namun maksud ungkapan ini adalah peringatan keras agar tidak berkata-kata dusta dan melakukan tindakan lain yang disebutkan bersamanya.” (Fath al-Bari, 4/138).
Sedangkan makna dari ungkapan ‘Allah tidak memerlukan puasanya’ adalah kiasan bahwa Allah tidak menerima puasanya, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu al-Munayyir (Fath al-Bari, 4/138).
Ibnu al-Arabi mengatakan, “Konsekuensi hadits ini adalah orang yang melakukan pelanggaran yang disebutkan itu maka puasanya tidak akan mendapatkan balasan pahala. Artinya pahala puasanya tidak akan berarti apa-apa ketika dilakukan penimbangan amal akibat dosa berkata dusta dan melakukan tindakan lain bersamanya.” (Fath al-Bari, 4/138).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Tujuan dari puasa bukanlah sekedar mengekang tubuh dalam rangka menahan haus dan lapar serta kesulitan, akan tetapi tujuannya adalah menundukkan jiwa dengan cara meninggalkan sesuatu yang dicintai demi meraih keridhoan Dzat yang dicintai. Adapun perkara dicintai yang ditinggalkan adalah makan, minum, dan jima’, inilah nafsu syahwat. Adapun sesuatu yang dicintai dan dicari keridhoan-Nya adalah Allah ‘Azza wa Jalla. Maka kita harus senantiasa menghadirkan niat ini bahwasanya kita meninggalkan pembatal-pembatal puasa ini demi mencari keridhoan Allah ‘Azza wa Jalla” (Tsamaniyatu wa arba’uuna su’aalan fish shiyaam hal. 10).
Kewajiban Bagi Kaum Yang Beriman
Allah ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan kepada kalian untuk berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (QS. al-Baqarah [2] : 183).
Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Puasa Ramadhan merupakan salah satu rukun Islam. Inilah kedudukannya (yang mulia) di dalam agama Islam. Hukumnya adalah wajib berdasarkan ijma’/kesepakatan kaum muslimin karena Al-Kitab dan As-Sunnah menunjukkan demikian.” (Syarh Riyadhush Shalihin, 3/380).
Ketika menjelaskan kandungan ayat di atas beliau mengatakan, “Allah mengarahkan pembicaraannya (di dalam ayat ini, pen) kepada orang-orang yang beriman. Sebab puasa Ramadhan merupakan bagian dari konsekuensi keimanan. Dengan menjalankan puasa Ramadhan akan bertambah sempurna keimanan seseorang. Dan juga karena dengan meninggalkan puasa Ramadhan akan mengurangi keimanan. Para ulama berbeda pendapat mengenai orang yang meninggalkan puasa karena meremehkannya atau malas, apakah dia kafir atau tidak? Namun pendapat yang benar menyatakan bahwa orang ini tidak kafir. Sebab tidaklah seseorang dikafirkan karena meninggalkan salah satu rukun Islam selain dua kalimat syahadat dan shalat.” (Syarh Riyadhush Shalihin, 3/380-381).
Menunaikan kewajiban merupakan ibadah yang sangat utama, karena kewajiban merupakan amalan yang paling dicintai oleh Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda membawakan firman Allah ta’ala (dalam hadits qudsi),
وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ
“Dan tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada dengan suatu amalan yang lebih Aku cintai daripada dengan menunaikan kewajiban yang Aku bebankan kepadanya…” (HR. Bukhari [6502] dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu).
an-Nawawi mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa mengerjakan kewajiban lebih utama daripada mengerjakan amalan yang sunnah.” (Syarh Arba’in li an-Nawawi yang dicetak dalam ad-Durrah as-Salafiyah, hal. 265).
Syaikh as-Sa’di juga mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat pokok yang sangat agung yaitu kewajiban harus didahulukan sebelum perkara-perkara yang sunnah. Dan ia juga menunjukkan bahwa amal yang wajib itu lebih dicintai Allah dan lebih banyak pahalanya.” (Bahjat al-Qulub al-Abrar, hal. 116).
al-Hafizh mengatakan, “Dari sini dapat dipetik pelajaran bahwasanya menunaikan kewajiban-kewajiban merupakan amal yang paling dicintai oleh Allah.” (Fath al-Bari, 11/388).
Syaikh Prof. Dr. Ibrahim bin Amir ar-Ruhaili mengatakan, “Amal-amal wajib lebih utama daripada amal-amal sunnah. Menunaikan amal yang wajib lebih dicintai Allah daripada menunaikan amal yang sunnah. Ini merupakan pokok agung dalam ajaran agama yang ditunjukkan oleh dalil-dalil syari’at dan ditetapkan pula oleh para ulama salaf.” Kemudian beliau menyebutkan hadits di atas. Setelah itu beliau mengatakan, “Maka hadits ini memberikan penunjukan yang sangat gamblang bahwa amal-amal wajib lebih mulia dan lebih dicintai Allah daripada amal-amal sunnah.” Kemudian beliau menukil ucapan al-Hafizh Ibnu Hajar di atas (lihat kitab beliau Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’maal, hal. 34).
Bersambung, insya Allah…